SOALAN :
Bagaimana hukum jual beli pada hari jum'at terkhusus saat khutbah
JAWAPAN :
Jual beli adalah praktik yang dihalalkan oleh syara’ dalam rangka mencari rezeki. Namun, syara’ menetapkan bahwa kebolehan ini tidak mutlak di semua waktu. Syara’ memberikan batasan mengenai waktu pelaksanaannya. Contoh waktu yang mendapatkan nash larangan melakukan jual beli adalah jual beli yang bertepatan dengan shalat Jumat.
Dasar dalil yang dipergunakan atas larangan ini adalah firman Allah dalam QS Al-Jumu’ah: 9:
اأيها الذين آمنوا إذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون
“Wahai orang-orang yang beriman, ketika telah sampai panggilan untuk shalat jumuah, maka bersegeralah ingat kepada Allah dan tinggalkan jual beli. Demikian itu adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (Al-Jumu’ah: 9)
Ayat ini mengandung perintah agar bersegera menuju shalat Jumat dan meninggalkan jual beli. Semua ulama sepakat bahwa ayat ini menunjukkan status wajibnya shalat Jumat. Oleh karena itu, pelaku transaksi jual beli yang dilakukan pada hari Jumat, saat adzan Jumat sudah dikumandangkan, adalah berdosa. Apalagi matahari sudah menunjukkan waktu tergelincir ke arah barat, dan Imam sudah naik ke atas mimbar, maka larangan ini mulai berlaku.
Yang menjadi pangkal ikhtilaf ulama adalah pendapat tentang hukum akad transaksi jual beli yang dilakukan saat adzan. Apakah jual belinya sah? Dan apakah larangan ini bersifat mutlak ataukah terbatas? Apakah semua akad juga termasuk yang dikenai hukum wajib ditinggalkan? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali diutarakan sehubungan tetapnya status larangan jual beli saat adzan shalat Jumat.
Terkait dengan sah atau tidaknya akad, ada dua pendapat ulama yang terkenal. Pendapat pertama memandang bahwa akad tersebut tidak sah dan wajib dibatalkan. Pendapat ini disampaikan oleh kalangan ahli dhahir (tekstualis) dari kalangan mazhab Maliki dan mazhab Hanbali. Masing-masing mazhab ini menyatakan bahwa hukum wajib dikembalikan kepada asal larangan. Dengan demikian, kalangan mazhab ini menyatakan wajibnya merusak akad (fasakh akad).
Kewajiban ini berlaku untuk semua pedagang secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan, baik termasuk ahli jum’ah (orang yang wajib shalat Jumat) maupun bukan. Dengan kata lain, kalangan tekstualis menyatakan hukum mutlak wajib fasakh (rusak).
Pendapat kedua disampaikan oleh ulama dari kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa akad jual belinya adalah sah namun berdosa. Status berdosa ini bersifat muqayyad (terbatas), yaitu secara khusus berlaku hanya bila transaksi tersebut dilakukan oleh kelompok ahli jum’ah. Dengan demikian, kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i menyatakan bahwa kaum perempuan dan anak-anak bukan termasuk yang dikenai larangan/teguran dari nash di atas.
Perwakilan atas pendapat ini dapat kita ketahui melalui pernyataan Al-Syairazy dalam kitab al-Muhadzhzab, sebagai berikut:
ولايبطل البيع لأن النهي لايختص بالعقد فلم يمنع الصلاة كالصلاة في الأرض المغصوبة
“Tidak membatalkan akad jual beli (akadnya sah), karena sesungguhnya larangan tersebut tidak dikhususkan pada akad, sementara akad tidak menghalangi shalat, sehingga seperti (hukum) shalat di bumi yang dighashab (berdosa).” (Muhyiddin Yahya bin Syaraf, al-Nawawy, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab li al-Syairazy, Jedah: Thab’atu Maktabah al-Irsyad, tt.: 1/110!)
Sumber: Muhammad Syamsudin, https://islam.nu.or.id/ekonomi-syariah/jual-beli-yang-dilarang-syariat-3-sebab-waktu-shalat-jumat-ZUpOa

Comments
Post a Comment